
Sabtu, 29 Desember 2012
Jumat, 28 Desember 2012
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Yogyakarta
A. Awal Mula Terbentuknya Kerajaan Yogyakarta
Antara tahun 1568 – 1586 di
pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan
Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir.
Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang,
beliau berhasil mucul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang
panglima
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Cirebon
A. AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN CIREBON
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif
Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya.
Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon”
berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon
didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam
memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal
bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang
di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena
istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Berkembangnya Islam di Kerajaan Tanah Hitu
A. Awal Mula Lahirnya Kerajaan
Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu adalah
sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini
memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu
Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang
ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja.
Kerajaan ini memiliki hubungan
erat dengan kerajaan Islam di Pulau Jawa, seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan
Banten, Sunan Giri di Jawa Timur, dan Kesultanan Gowa di Makassar. Kerajaan
yang berjaya pada 1470-1682 ini didirikan oleh Empat Perdana.
Mereka adalah empat kelompok
pertama yang datang ke Tanah Hitu. Pemimpin keempat keompok tersebut dalam
bahasa Hitu disebut Hitu Upu Wafa atau Empat Perdana Tanah Hitu. Kedatangan
keempat kelompok ini menjadi awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai
penduduk asli Pulau Ambon.
Mereka juga menjadi penyiar
Islam di Maluku. Mereka datang secara periodik. Pendatang pertama adalah
Pattisilang Binaur dah Gunung Binaya (Pulau Seram Barat), lalu dari Nunusaku ke
Tanah Hitu. Tidak ada catatan sejarah kapan mereka tiba. Mereka mendiami Bukit
Paunusa dan mendirikan negeri dengan nama Soupele dan marga Tomu Tohatu.
Patisiliang Binaru juga disebut sebagai Perdana Totohatu atau Perdana
Yang tiba kedua adalah Kiai
Daud dan Turi yang juga disebut Pattikawa dan Pattituri. Mereka datang bersama
saudara perempuannya. Nyai Mas. Menurut silsilah. mereka adalah anak dari
Muhammad Taha bin Baina Mala bin Baina rati bin Saidina Zainal Abidin baina
Yasirullah bin Muhammad an Naqib dari Ali bin Abi Thalim dan Fatimah binti
Rasulullah. Ibu mereka berasal dari keluarga Raja Mataram yang tinggal di
Kerajaan Tuban.
Kedatangan ketiga bersaudara
ini ke Tanah Hitu adalah untuk mencari tempat tinggal leluhur mereka, Saidina
Zainal Abidin Baina Yasirullah. Tiga saudara ini menemukan makam leluhur mereka
di atas batu karang di Hitu. Ketiganya sampai di Hitu pada 1440 dan mendiami
sebuah wiayah yang mereka beri nama Ama Tupan, sesuai dengan asal ibu mereka.
Kemudian, negeri di pesisir pantai itu dinamakan Wapaliti.
Pendatangan ketiga adalah
Jamilu dari Kerajaan Jailolo pada 1465. Negerinya disebut Laten dan marganya
adalah Lating. Perdana Jamilu juga disebut Perdana Nustapi yang artinya pendamai,
sedangkan pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom yang tiba pada 1468.
Ia mendirikan negeri bernama Olong yang juga menjadi marganya. Ia juga disebut
sebagai Perdana Pattituban karena ia pernah ke Tuban untuk memastikan
sistempemerintahan di sana yang juga menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan
Tanah Hitu.
B. Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Kerajaan Tanah Hitu
Pengaruh
Islam hadir di wilayah Kepulauan Maluku setidaknya sejak pungkasan Abad 14,
yang ditandai dengan berdiri dan berkembangnya Kerajaan dengan pemerintahan
bercorak Islam. Di Wilayah Maluku Utara di kenal empat Kerajaan Islam yang
besar dan pengaruhnya yang tersebar luas. Empat Kerajaan tersebut adalah
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Wilayah Maluku bagian selatan, dikenal
juga kerajaan yang cukup besar pengaruhnya dan perkembangannya sejaman dengan
wilayah kerajaan Ternate, yakni Kerajaan Hitu, di bagian utara Pulau Ambon.
Perkembangan kerajaan-kerajaan tersebut seiring pula dengan laju gerak niaga
yang melibatkan para pedagang asing seperti pedagang Arab, Persia, China, Jawa
serta Sumatra. Berkembangnya gerak niaga, dipicu oleh kekayaan sumberdaya alam
yang dimiliki oleh wilayah kepulauan Maluku, yakni cengkeh dan pala yang
terkenal seantero jagad.
Persentuhan wilayah Maluku dengan budaya Islam dapat dijejaki adanya
bukti-bukti peninggalan budaya Islam pada awal persentuhannya hingga masa
berkembangnya sebagai agama resmi kerajaan. Di Wilayah Ternate, Tiodre, Bacan
dan Jailolo, bukti-bukti peninggalan kerajaan Islam seperti Majid Kuno, Alquran
kuno dan berbagai peninggalan lainnya membuktikan bahwa pengaruh budaya Islam
di wilayah itu sangat kuat. Dapat dikatakan wilayah Ternate, Tiodre, Jailolo
dan Bacan adalah wilayah-wilayah pusat peradaban Islam. Pada abad 15-16 Ternate,
Tidore, Bacan, Jailolo di Maluku Utara adalah wilayah-wilayah pusat Kerajaan
Islam yang pengaruhnya menyebar ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku, bahkan
hingga ke sebelah barat dan timurnya. Di bagian selatan Maluku, Kerajaan Hitu
di Pulau Ambon dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam. Dari
wilayah pusat perdaban dan kekuasaan Islam inilah, kemudian dengan cepat berkembang
ke wilayah-wilayah lainnya, seiring laju perdagangan serta ekspansi kekuasaan.
1.
Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat)
kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak
tertulis. Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian
mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang
Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
2.
Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan
Pattituri dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas.
Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari : Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari : Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
3.
Kemudian datang lagi Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada
Tahun 1465 pada waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau
warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib.
Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama
marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi,
Nustapi artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara
Perdana Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari
Nusatau, dia juga digelari Kapitan Hitu I.
4.
Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur)
tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Sholat) sore
hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna
langit pada waktu Ashar (waktu sholat).
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
C. Runtuhnya
Kerajaan Tanah Hitu
Kerajaan
ini mencapai masa kejayaannya pada 1470 hingga 1682, yaitu sejak raja pertama
memerintah hingga keenam. Kerajaan ini sempat menjadi pusat perdagangan
rempah-rempah yang sangat penting di Maluku. Karena itulah Belanda dan Portugis
sangat ingin menguasai Maluku, salah satunya dengan menguasai Kerajaan Hitu.
Pada
abad ke-15, terjadilah kontak pertama dengan Portugis yang ingin menguasai
Maluku. Namun, pada 1575. Portugis keluar dari Maluku dan digantikan oleh
Belanda pada 1599. Belanda mendirikan benteng pertahanan dan mematik peperangan
pada 1634 hingga 1643.
Belanda
berhasil menguasai kerajaan yang menjadi pusat Islam di Maluku Selatan itu
sehingga perlahan-lahan kerajaan ini menghilang dan secara turun-temurun
kemudian diintegrasikan dalam bentuk kepemimpinan desa. Kini, Kesultanan Hitu
berubah menjadi Kecamatan Leihitu. Kabupaten Maluku.
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Buton
A.
Awal
Mula Lahirnya Kerajaan Buton
Nama
Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya
strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan
jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota
Baubau. Wilayahnya meliputi Pulau Buton dan pulau-pulau di sekitar
Sulawesi Tenggara. Kerajaan yang kemudian menjadi
Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer
selama tujuh abad.
Tahun 1332 berdiri kerajaan Buton. Yang
menarik adalah, awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa
kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. . Selama
masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya
perempuan antara lain Ratu Wa kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu
Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja
Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Perubahan Buton menjadi
kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan
Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin
berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan
agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang
Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer
dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat
kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu,
Konawe, Muna dan Majapahit.
Kerajaan Buton didirikan atas
kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara
bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton.
Kelompok ketiga berasal dari kerajaan Majapahit. Berikut adalah skema
pendiri kerajaan Buton.
Sebagai sebuah negeri, keberadaan
Buton tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M.
Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan,
Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yag dilengkapi taman,
lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
B.Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Kerajaan
Buton
Kerajaan Buton
secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam
pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau
Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan
oleh Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya
pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga
berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton,
Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai
(Aceh).
Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid
pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai
tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan
bahawa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton
pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu
Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah
Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain
menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan
Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani.
Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.
Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut
yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu
dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di
jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di
Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui
kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan
secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah
Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang
umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
C. Silsilah Raja di Kerajaan Buton
Berikut ini daftar raja dan
sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam,
sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.
Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Sepanjang era kesultanan, ada 38 sultan yang memerintah.
Tahun 1960 Kesultanan Buton dihapus oleh pemerintahan Republik Indonesia atas nama NKRI.
Saat itu Kesultanan Buton dipimpin oleh Sultan Muhamad Falihi Kaimuddin.
D. Penyebab Kemunduran Kerajaan Buton
Ancaman luar yang terus menerus
dirasakan Buton adalah perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan
besar jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap
bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah
melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar
jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam keadaan terancam.
Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua.
Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar, juga mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton tahun 1669. Disamping itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu sebagai berikut.
Sultan
ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak masalah
politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah dalaman itu
adalah pemberontakan di Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan
menghabiskan senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal”
agar dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan
kedaulatannya ke atas kedua wilayah itu.
Jadi, banyak Pemberontakan yang terjadi di Kerajaan
Buton seperti
1.
Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!)
2. Perang
Buton – Ternate (1580!)
3. Perang
Buton – Belanda . (1637 – 1638)
4. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton (1666-1667)
5. Perang Makassar (1966 – 1969)
6. Perang Buton Belanda tahun
1752 dan 1755 - 1776
7. Perang
Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
8. Perang Buton melawan Bajak
Laut tahun 1824
9. Pemberontakan Dalam
Pemerintaha Kesultanan Buton
Karena begitu banyak pemberontakan yang silih berganti
dikarenakan Letaknya
strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan
jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota
Baubau serta kurangnya hubungan antara Belanda disebabkan penghianatan
yang dilakukan oleh pendahulu-pendahulu Raja Buton.
Sumber :
·
id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
·
Willard A. Hanna & Des
Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan
jakarta 1996.
·
Horst h. Liebner, Sebuah
Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei
1650, masyarakat pernaskahan Nusantara,2007
·
Suryadi, Warkah-Warkah Sultan
Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Masyarakat pernaskahan nusantara 2005
·
Tentang Makassar,
http://makassarkota.go.id/
Langganan:
Postingan (Atom)