A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam
memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal
bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang
di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena
istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah
di bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang
Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke
Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra
Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk
mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra
Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja
yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki
dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat
diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju.
Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama
ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai
sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima. Dalam masa selanjutnya, Mbojo
bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di
Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah
bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan
suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak
persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur
dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh
sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo
mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua
tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo
sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang
bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang
Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan
Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
Kerajaan Gowa Tallo memegang peranan
penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M,
Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian barat. Untuk
mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi untuk
menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan
ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring
dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga berkembang.
Beberapa bulan setelah memeluk agama
Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang
gurunya dari Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di
Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga
menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat
penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE
kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam semakin
bersinar terang menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut
gembira instruksi Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi
semakin berang. Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan
Abdul Kahir. Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai
puncaknya di Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga
menewaskan Panglima Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala
kecamatan Wera. Berkat kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir
dan teman seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang yang
selanjutnya dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di Makassar, Empat serangkai Abdul
Kahir, Sirajuddin, Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang.
Di tanah ini pula mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala
persiapan dimatangkan, Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan
terhadap Salisi. Dalam sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim
untuk menaklukkan Salisi namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam
dua ekspedisi ini. Untuk ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru
berhasil. Pada tanggal 5 Juli 1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir berhasil
memasuki Istana Bima dan dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi
gelar Ruma ta Ma Bata Wadu (Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin
terus mengejar Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan
Kesultanan Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma
Bicara) pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di
kampung Suntu (Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi
sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah
dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap
tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir
sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul
Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh
sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana
Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya
Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab
Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika
Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan
Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan
Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan
Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara
peninggalan yang masih bisa di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Sumber :
1. Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya
Sang Putera Mahkota, Alan Malingi
3. melayuonline.com/ind/history/dig/328/kerajaan-bima
ternyata kerajaan gowa dan bima brsaudara
BalasHapus