A.
Awal
Mula Lahirnya Kerajaan Buton
Nama
Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya
strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan
jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota
Baubau. Wilayahnya meliputi Pulau Buton dan pulau-pulau di sekitar
Sulawesi Tenggara. Kerajaan yang kemudian menjadi
Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer
selama tujuh abad.
Tahun 1332 berdiri kerajaan Buton. Yang
menarik adalah, awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa
kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. . Selama
masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya
perempuan antara lain Ratu Wa kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu
Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja
Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Perubahan Buton menjadi
kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan
Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin
berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan
agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang
Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer
dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat
kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu,
Konawe, Muna dan Majapahit.
Kerajaan Buton didirikan atas
kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara
bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton.
Kelompok ketiga berasal dari kerajaan Majapahit. Berikut adalah skema
pendiri kerajaan Buton.
Sebagai sebuah negeri, keberadaan
Buton tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M.
Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan,
Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yag dilengkapi taman,
lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
B.Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Kerajaan
Buton
Kerajaan Buton
secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam
pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau
Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan
oleh Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya
pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga
berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton,
Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai
(Aceh).
Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid
pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai
tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan
bahawa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton
pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu
Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah
Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain
menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan
Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani.
Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.
Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut
yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu
dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di
jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di
Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui
kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan
secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah
Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang
umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
C. Silsilah Raja di Kerajaan Buton
Berikut ini daftar raja dan
sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam,
sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.
Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Sepanjang era kesultanan, ada 38 sultan yang memerintah.
Tahun 1960 Kesultanan Buton dihapus oleh pemerintahan Republik Indonesia atas nama NKRI.
Saat itu Kesultanan Buton dipimpin oleh Sultan Muhamad Falihi Kaimuddin.
D. Penyebab Kemunduran Kerajaan Buton
Ancaman luar yang terus menerus
dirasakan Buton adalah perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan
besar jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap
bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah
melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar
jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam keadaan terancam.
Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua.
Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar, juga mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton tahun 1669. Disamping itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu sebagai berikut.
Sultan
ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak masalah
politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah dalaman itu
adalah pemberontakan di Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan
menghabiskan senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal”
agar dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan
kedaulatannya ke atas kedua wilayah itu.
Jadi, banyak Pemberontakan yang terjadi di Kerajaan
Buton seperti
1.
Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!)
2. Perang
Buton – Ternate (1580!)
3. Perang
Buton – Belanda . (1637 – 1638)
4. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton (1666-1667)
5. Perang Makassar (1966 – 1969)
6. Perang Buton Belanda tahun
1752 dan 1755 - 1776
7. Perang
Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
8. Perang Buton melawan Bajak
Laut tahun 1824
9. Pemberontakan Dalam
Pemerintaha Kesultanan Buton
Karena begitu banyak pemberontakan yang silih berganti
dikarenakan Letaknya
strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan
jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota
Baubau serta kurangnya hubungan antara Belanda disebabkan penghianatan
yang dilakukan oleh pendahulu-pendahulu Raja Buton.
Sumber :
·
id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
·
Willard A. Hanna & Des
Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan
jakarta 1996.
·
Horst h. Liebner, Sebuah
Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei
1650, masyarakat pernaskahan Nusantara,2007
·
Suryadi, Warkah-Warkah Sultan
Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Masyarakat pernaskahan nusantara 2005
·
Tentang Makassar,
http://makassarkota.go.id/
mhon ma'f ne ...sperti jdul artikel ini salah...kok judulnya "sejarah berdiri,runtuh dan perkembangan islam di buton" memang islamnya runtuh yah??? ataukah kesultanannya runtuh??? aneh...menurut sya baik ajaran islam maupun sistem kesultanannya tetap terjga smpai saat ini. kentara klu artikel ini bkan hsil karya sndiri
BalasHapuskesultanannya Runtuh.
HapusBetul. Yang berubah hanya sistem pemerintahan. Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan Sultan Buton menyatakan sikap penyatuan ke dalam NKRI, saat itu juga kekuasaannya dipunggawai penuh oleh pemerintahan Indonesia. Saat ini yang tampak adalah sistem pemerintahan indonesia. Meskipun demikian sisah-sisah kultur, budaya, adat serta agama masih menyisahkan kekayaan masa lalu Kesultanan Buton tersebut.
BalasHapustahun berapa sistem pemerintahan buton tdk berlaku?
BalasHapusperhatikan kerajaan Muna \ Wuna khusunya lakilaponto sebagai anak raja muna dan raja di muna dan sultan pertama buton
BalasHapusKerajaan muna,kerajaan kendari dll di sultra sebenarnya ndah ada, yg ada hanyalah kerajaan buton semata yg wilayah kekuasaannya wilayah sultra dan sekitarnya, secara logikah klu memang muna kendari dll pernah ada raja tentunya ada istananya, perangkan 2nya dll yg merupakan simbol kerajaan, jd menurut saya hanyalah perwakilannya atau kaki tangan raja dll.
BalasHapus